Kajian Rekomendasi UU ITE: Revisi demi Demokrasi
Abstrak
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi, Indonesia menjamin hak asasi manusia (HAM) seperti kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi serta hak untuk mendapatkan kepastian hukum. Pada dasarnya, HAM tidak dapat dicabut, tetapi hak atas kebebasan berpendapat dapat dibatasi dalam kondisi tertentu. Sayangnya, aturan-aturan hukum di Indonesia yang mengatur mengenai pembatasan hak atas kebebasan berpendapat masih mengandung ketentuan yang bersifat multitafsir. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE). UU ITE awalnya diberlakukan untuk menjaga keamanan ruang digital dan menanggulangi permasalahan yang timbul dari adanya transaksi dan pertukaran informasi elektronik. Namun, penerapannya justru menimbulkan rasa ketidakadilan dan tidak aman dalam masyarakat. Alih-alih fokus merevisi berbagai pasal bermasalah dalam UU ITE, timbul pemberitaan bahwa pemerintah berencana melakukan penyusunan pedoman interpretasi terhadap UU ITE. Padahal, pedoman interpretasi tidak dikenal dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Melihat berbagai permasalahan tersebut, kajian ini akan meninjau pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE, di antaranya Pasal 27 ayat (1), (3), dan (4) UU ITE; Pasal 28 ayat (2) UU ITE; Pasal 29 UU ITE; Pasal 36 UU ITE; serta Pasal 40 ayat (2) huruf a dan b UU ITE, serta memberikan rekomendasi revisi yang dapat dilakukan pada pasal-pasal terkait.
Kata Kunci: kebebasan berpendapat dan berekspresi, kepastian hukum, UU ITE, pasal karet, sanksi administratif, hierarki peraturan perundang-undangan
Abstract
As a state of law that upholds democracy, Indonesia guarantees human rights such as freedom of opinion and expression as well as the right to obtain legal certainty. In essence, human rights cannot be taken away, but freedom of expression can be limited under certain conditions. Unfortunately, the regulations in Indonesia that regulate the limitation of the right to freedom of expression still contain provisions that have multiple interpretations. One of them is Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016 (UU ITE). The initial spirit of the enactment of UU ITE was to keep the digital space safe and overcome problems that arise from transactions and the exchange of electronic information, but its implementation creates a sense of injustice and insecurity in society. Instead of focusing on revising the problematic articles in UU ITE, reports emerged that the government plans to prepare an interpretation guideline for UU ITE. Interpretation guidelines are not known in the hierarchy of laws and regulations as specified in Article 1 of Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation. Seeing these various problems, this study will review problematic articles in UU ITE, including Article 27 paragraphs (1), (3), and (4) of UU ITE; Article 28 paragraph (2) of UU ITE; Article 29 of UU ITE; Article 36 of UU ITE; and Article 40 paragraph (2) letters a and b of UU ITE, as well as providing recommendations for revisions that can be made to these articles.
Keywords: freedom of opinion and expression, legal certainty, UU ITE, problematic articles, administrative sanctions, the hierarchy of laws and regulations