Ranperpres UKP-PPHB: Sesat Pikir Pemerintah dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Abstrak
Dalam sejarah Indonesia, terdapat setidaknya dua belas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang pernah terjadi dan belum mendapatkan penyelesaian. Pengadilan HAM merupakan salah satu mekanisme yudisial yang bertujuan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dan memenuhi hak-hak korban. Namun, mekanisme Pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih memiliki berbagai permasalahan yang mengakibatkan pelanggaran HAM sukar untuk diadili. Untuk mengatasi keterbatasan dari mekanisme yudisial, terdapat pula mekanisme nonyudisial sebagai upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat selain melalui proses peradilan. Namun, masih belum terdapat mekanisme nonyudisial yang dapat efektif menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Beranjak dari hal tersebut, pemerintah berencana untuk membentuk Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat (Ranperpres UKP-PPHB). Alih-alih menyediakan mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, rancangan peraturan presiden tersebut justru menghadirkan berbagai permasalahan baru. Maka dari itu, artikel ini akan membahas berbagai permasalahan yang terkandung dalam Ranperpres UKP-PPHB, antara lain terkait dengan pembahasannya yang tidak melibatkan korban dan masyarakat sipil, upaya rekonsiliasi yang mengesampingkan hak korban atas kebenaran, pengaturan yang memungkinkan penyelesaian pelanggaran HAM berat tanpa mengadili pelakunya, serta pemberian kompensasi terhadap korban yang membutuhkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Kata Kunci: pelanggaran HAM berat, UKP-PPHB, mekanisme nonyudisial, pengadilan HAM, hak asasi manusia
Abstract
In the history of Indonesia, there have been at least twelve cases of gross human rights violations that have occurred and have not yet been resolved. The Human Rights Court is one of the judicial mechanisms that aims to resolve cases of gross human rights violations and fulfill the rights of victims. However, the mechanism of the Human Rights Court as contained in Law Number 26 of 2000 concerning the Human Rights Court still has various problems that make it difficult for human rights violations to be prosecuted. To overcome the limitations of the judicial mechanism, there are also non-judicial mechanisms as an effort to resolve cases of gross human rights violations other than through the judicial process. However, there is still no non-judicial mechanism that can effectively resolve cases of gross human rights violations in Indonesia. Based on this, the government plans to issue a Presidential Regulation on the Presidential Work Unit for Handling Cases of Serious Human Rights Violations (Ranperpres UKP-PPHB). Instead of providing an effective mechanism for resolving cases of gross human rights violations, the draft presidential regulation actually presents a number of new problems. Therefore, this article will discuss various problems contained in Ranperpres UKP-PPHB, including those related to the drafting process that does not involve victims and civil society, reconciliation efforts that ignore the victim’s right to the truth, provisions that allow the settlement of gross human rights violations without prosecuting the perpetrators, and providing compensation to victims who require a court decision with permanent legal force.
Keywords: gross human rights violation, UKP-PPHB, non-judicial mechanism, human rights court, human rights