Pernyataan Sikap Aliansi BEM se-UI Menentang dengan Tegas Permohonan Judicial Review terhadap Permendikbud-Ristek PPKS yang Berbasis Miskonsepsi
Abstrak
Kehadiran Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud-Ristek PPKS) mendapat sejumlah penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, salah satunya adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). LKAAM mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung (MA) mengenai keberatan mereka atas frasa “tanpa persetujuan korban” dan “tidak disetujui oleh korban” yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m Permendikbud-Ristek PPKS. Permohonan LKAAM berbasis pada miskonsepsi bahwa frasa tersebut berpotensi melegitimasi seks bebas dan membenarkan tindakan asusila di ranah kampus. Lebih lanjut, LKAAM menilai frasa tersebut bertentangan dengan Pancasila serta nilai-nilai keagamaan dan moralitas yang berkembang dalam masyarakat. Pada kenyataannya, persetujuan atau consent merupakan tolok ukur untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual atau tidak. Penekanan pada aspek consent yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbud-Ristek PPKS sejatinya merupakan upaya penegakan hak asasi manusia dengan melindungi sivitas akademika dari ragam aktivitas seksual yang tidak diinginkan. Maka dari itu, melalui pernyataan sikap ini, Aliansi BEM se-UI menentang judicial review terhadap Permendikbud-Ristek PPKS berbasis miskonsepsi yang diajukan oleh LKAAM serta mendorong MA untuk turut terlibat dalam menciptakan kampus yang aman dari kekerasan seksual dengan menolak permohonan judicial review LKAAM terhadap Permendikbud-Ristek PPKS.
Kata Kunci: kekerasan seksual, persetujuan, Permendikbud-Ristek PPKS, judicial review, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, LKAAM, Mahkamah Agung
Abstract
The Regulation of the Minister of Education, Culture, Research, and Technology Number 30 of 2021 concerning the Prevention and Handling of Sexual Violence in Higher Education (Permendikbud-Ristek PPKS) received many rejections from various groups of society, one of which was the Minangkabau Natural Density Institute (LKAAM). LKAAM submitted a judicial review to the Supreme Court (MA) regarding their objection to the phrases “without the consent of the victim” and “not approved by the victim” contained in Article 5 paragraph (2) letters b, f, g, h, j, l, and m of Permendikbud-Ristek PPKS. LKAAM’s judicial review is based on the misconception that said phrases has the potential to legitimize free sex and justify immoral acts on campus. Furthermore, LKAAM considers said phrases to be contrary to Pancasila and the religious values that are held high in Indonesia’s society. Essentially, consent is the benchmark for determining whether an act can be classified as sexual violence or not. The emphasis on consent contained in Article 5 paragraph (2) of Permendikbud-Ristek PPKS is an effort to uphold human rights by protecting campus residents from unwanted sexual activities. Therefore, through this statement, Aliansi BEM se-UI opposes LKAAM’s judicial review that is based on misconception and encourages MA to be involved in creating campuses that are safe from sexual violence by rejecting LKAAM’s judicial review against Permendikbud-Ristek PPKS.
Keywords: sexual violence, consent, Permendikbud-Ristek PPKS, judicial review, Minangkabau Natural Density Institute, LKAAM, Supreme Court